Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Prof. Agus Pramusinto, menyebut bahwa kepentingan politik masih menjadi faktor yang berpengaruh dalam birokrasi. Terlebih menjelang perhelatan Pemilu dan Pemilihan serentak 2024, potensi pelanggaran netralitas ASN tetap membayangi.
“Keberadaan ASN khususnya pada unsur lini kewilayahan, seperti lurah dan camat memiliki daya tarik khusus di mata bakal calon atau calon peserta pemilu dan pemilihan, ungkap Agus dalam webinar “Dilema Camat dan Lurah: Antara Profesionalisme dan Politik Tahun 2024”, Rabu (14/6/2023).
"Setidaknya terdapat dua alasan yang membuat pejabat lurah dan camat berpotensi menjadi pendulang suara (votes getter) sekaligus objek politisasi dalam Pemilu dan Pemilihan. Pertama, seorang lurah dan camat memiliki akses langsung kepada warga dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Kedua, kewenangan dan bidang tugas lurah dan camat yang bersifat lintas sektoral di wilayah geo administrasinya, seperti perizinan, penyaluran bantuan sosial, pembinaan organisasi masyarakat dan lain-lain."
Sementara, dari hasil pengawasan KASN pada 2020--2023, sebanyak 2.034 ASN dilaporkan dan 1.596 ASN terbukti melanggar netralitas. Kemudian sebanyak 192 ASN pelanggar merupakan camat dan lurah. Adapun jenis pelanggaran yang dilakukan antara lain, mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (36,5%); kampanye/sosialisasi di media sosial seperti posting/like/komentar (20,1%); menghadiri deklarasi bakal calon/calon (15,8%); foto bersama calon/bakal calon (11,1%); dan menjadi peserta kampanye (7,4%).
Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Suhajar Diantoro, melihat bahwa dalam Pemilu dan Pemilihan saat ini terdapat tiga kelompok dalam lingkup ASN. Pertama adalah petualang mencari jabatan. Kedua adalah mencari peruntungan oportunis. Lalu ketiga, merupakan kelompok profesional.
"Pengalaman saya, ASN yang tetap netral dan profesional akan berkarier dengan baik. Yang bersikap netral menjadi kelompok yang paling berlangsung baik kariernya. Dia tidak terombang-ambing pada kondisi perpolitikan yang ada."
"Kita juga harus melibatkan para pelaku politik, baik calon maupun parpol untuk tidak menarik-narik para ASN khususnya camat dan lurah dalam lingkaran politik, mengingat banyaknya jumlah camat dan lurah yaitu terdapat 7.266 camat dan 8.506 lurah," imbuhnya.
Di sisi lain, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Prof. Sadu Wasistiono, mengatakan bahwa netralitas birokrasi seringkali dihambat oleh adanya keinginan ASN yang bersangkutan untuk menjadi “Tim Sukses Bayangan”. Hal itu dengan harapan jika yang didukung menang, ASN tersebut akan dipromosikan jabatannya. ASN itu kemungkinan memiliki kompetensi yang terbatas sehingga ditutupi dengan kekuatan lobi politik lokal yang ada.
Kemudian terkain posisi camat dan lurah, mereka sebenarnya bukan organisasi perangkat daerah (OPD) yang menjalankan urusan pemerintahan tertentu seperti dinas atau badan. Mereka merupakan OPD yang bertanggung jawab terhadap suatu wilayah kerja dan isinya dan sangat dekat dengan masyarakat.
“Hubungan antara bupati/wali kota dengan camat sangatlah dekat sehingga pengisian jabatan camat seringkali lebih mempertimbangkan ‘kecocokan chemistry’ daripada kompetensinya,” ungkap Sadu.
Selanjutnya, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. R. Siti Zuhro, mengapresiasi penegakan netraliltas oleh KASN. Menurutnya, birokrasi yang andal bisa terbentuk dari para ASN yang netral di dalamnya.
"Tidak hanya masalah reward dan punishment, tentu kunci utamanya bagi tegaknya birokrasi kita menyongsong Indonesia Emas 2045 adalah netralitas perangkat daerah," ujar Siti Zuhro. (sa/nqa/mj)