Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Prof. Agus Pramusinto, menyebut jelang tahun politik ASN rentan terlibat praktik korupsi. Hal tersebut berangkat dari kondisi para kontestan politik yang memerlukan amunisi dana akibat biaya politik tinggi.
"Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejumlah kegiatan birokrasi berpotensi menjadi sasaran korupsi, yaitu, pertama praktik suap dalam pengisian jabatan ASN, baik jabatan pimpinan tinggi (JPT), administrator, dan pengawas. Kedua, kegiatan pengadaan barang dan jasa. Ketiga, kebijakan anggaran, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan dan keempat, penerbitan perizinan," sebut Ketua KASN pada seri lanjutan webinar netralitas ASN bertema “Terlibat Politisasi, Terjerat Korupsi: Tahun Politik, Tahun Rawan Korupsi ASN”, Rabu (18/10/2023).
Menurut Agus, para kontestan politik tentunya tidak dapat mengeksekusi langsung berbagai peluang korupsi tersebut. Mereka akan berkolusi bersama oknum ASN pemilik otoritas pengelolaan sumber daya anggaran, sumber daya manusia, dan aset, yang bersedia menggadaikan integritas. Hingga saat ini, sudah banyak ASN yang telah terlibat, baik sebagai pelaku utama atau perantara. Berdasarkan data tren kasus korupsi di Indonesia pada 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dari 1.396 tersangka korupsi, 506 orang (36%) di antaranya berstatus sebagai ASN dan mayoritas bertugas di pemerintah daerah.
Politisasi ASN kata Agus pada akhirnya hanya akan menghasilkan pegawai negeri sipil yang tidak beretika dan rela mengorbankan kepentingan publik demi menyenangkan majikan politik mereka. "Dalam situasi ini kontestan politik yang berposisi sebagai petahana, baik eksekutif dan legislatif lebih berpeluang untuk melakukannya ketimbang kontestan politik non-petahana. Bangunan relasi kuasa dan pemahaman loyalitas yang sempit membuka peluang timbulnya kolusi tersebut," tegas dia.
Ketua KASN kemudian mengimbau kepada para ASN supaya kekhawatiran terhadap politisasi dan korupsi dalam tahun politik tidak menyebabkan melambatnya pelaksanaan program dan kegiatan yang telah direncanakan.
"Pelayanan publik semestinya tetap berjalan efektif. Tidak ada pilihan bagi ASN dalam menyikapi situasi ini selain bekerja dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Loyalitas kepada bangsa dan negara harus berada di atas kepentingan atasan atau kepentingan politik elektoral," pesan Agus.
Sementara itu, Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, menyoroti akuntabilitas partai politik menjadi salah satu penyebab terjadinya politisasi birokrasi. Dari uji keterbukaan informasi partai politik yang telah dilakukan ICW, rerata partai politik tertutup soal laporan keuangan mereka.
“Seharusnya partai politik memiliki kewajiban untuk menginformasikan program kinerja dan laporan keuangan. Namun, pada uji coba di lima provinsi yakni DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Sumatra Utara, hasilnya rata-rata 95% partai politik ternyata tertutup soal laporan keuangan dan hasil audit mereka”, bebernya.
Koordinator ICW itu kemudian menekankan perlunya evaluasi atas upaya pencegahan korupsi di kalangan birokrasi. Sebab di beberapa daerah pihaknya menemukan ada kepala daerah yang enggan memecat ASN terpidana korupsi karena mereka merupakan tim sukses dalam pemenangan pilkada.
Kemudian, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyampaikan adanya pungutan liar yang menghantui sistem kepegawaian di Indonesia, seperti dalam pelaksanaan mutasi dan kenaikan pangkat. "Tentu saja fenomena ini terjadi karena birokrasi maupun kepemimpinannya belum bebas dari korupsi, dimana hal ini sebenarnya berakar dari Pemilu yang tidak berintegritas," kata Ghufron.
Di satu sisi, politisasi ASN dan korupsi bukan hanya terjadi empat area di atas. Bantuan sosial (bansos) juga menjadi area yang sangat rawan terjadinya perilaku korup para ASN. Ada dua modus penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik, yaitu melalui pemberian label foto/jargon/simbol kampanye kontestan politik, dan manipulasi data penerima supaya diberikan kepada pendukung serta simpatisan kontestan politik tertentu.
Auditor Utama BPK, Ahmad Adib Susilo, mengatakan pada 2024 rencana anggaran perlindungan sosial naik menjadi hampir Rp500 triliun. Jumlah anggaran tersebut membuka peluang penyalahgunaan bantuan sosial, terutama menjelang tahun politik 2024. “Bantuan sosial berisiko disalurkan ke orang yang berhak tapi dengan cara yang tidak tepat,” ungkap Ahmad. (NQA/HumasKASN)